Hujan belum mereda sore itu, Nang Lecir tampak tergopoh-gopoh menuju pondokan Nang Olog bersama seorang anak muda – jika tidak salah ia adalah salah satu kemenakan Nang Lecir yang jadi semacam ajudan di kantor wakil rakyat di provinsi. Nang Olog yang sedang memperbaiki atap ambengan (alang-alang) pada tempat penyimpanan jijih (buah padi), menyambut mereka ala kadarnya dan mempersilakan mereka duduk di jineng yang sudah amat reot.
Rupanya Nang Lecir baru saja menjemput kemenakannya itu dari jalanan desa, dan hujan semakin deras ketika mereka berjalan pulang sehingga terpaksa mencari tempat berteduh sejenak.
Mereka pun ngobrol karena kebetulan juga Nang Olog lama sudah tidak berjumpa Gus Anom – nama kemenakan Nang Lecir, yang sudah meninggalkan desa sejak masa SMP untuk bekerja serabutan di kota sambil bersekolah.
“Wah, Gus, lama Bapa tidak berjumpa dengan Agus, sekarang semakin truna saja. Bapa dengar Gus mangkin bekerja jadi pegawai nggih?” Tanya Nang Olog pada salah satu generasi penerus desa mereka itu.
“Nggih Bapa, tyang mangkin dados pegawai, nanging hidupe pateh sakadi tani driki, mungkin lebih tidak baik lagi Bapa.” Tampaknya Gus Anom mengeluhkan kehidupannya di kota sebagai pegawai negeri.
“Dadi keto Gus?” Nang Lecir menanyakan maksud kemenakannya.
“Tuyuh patuh, kerja sama banyak, bedanya hanya ruang ber-AC, di samping itu terlalu banyak konflik di dalam, sampai tyang merasa serba salah melihat banyak hal Bapa.”
Nang Olog & Nang Lecir saling berpandangan menunggu penjelasan selanjutnya dari pemuda itu. Sementara, mendung yang masih menggulung dan langit yang lebih gelap dari seharusnya, membuat hewan malam bersawahan memulai kidung rutin mereka merayakan hujan.
“Nah, misal sane minggu imalu tyang mireng wenten gatra indik ngangkat utawi usul, mangda tajen utawi tabuh rah katur antuk awig-awig utawa PERDA, jek ningehang ento, tyang lantas sing setuju, nanging lantarang tyang ‘nak cerik’ drika, tusing bani ngorang napi-napi.”
Rupanya di Dewan Rakyat Daerah sedang ada isu untuk mengatur/mengaji tajen (sabung ayam) ke dalam peraturan daerah. Nang Olong & Nang Lecir saling berpandangan, mereka bisa tahu mengapa hal ini begitu menganggu Gus Anom, sampai-sampai bisa dilihat emosi yang bisa meledak di dalam diri pemuda itu. Para tua itu ingat betul, apa yang menimpa keluarga Gus Anom belasan tahun lalu – ayahnya dimabuk oleh tajen sehingga seluruh harta benda keluarga ludes dalam ajang pertaruhan sabung ayam, ibunya jatuh sakit dan tidak bisa berobat karena keluarga sudah tidak punya apa-apa, kondisinya diperburuk lagi oleh kelakuan suaminya yang sudah tak mendengar nasihat si istri yang hanya tergolek lemah di ranjang. Singkat kata bencana tidak terhindarkan, si ayah dililit hutang dan lari dari desa, sementara ibunya setiap hari mesti diganggu penagih hutang – meski mendapat uluran tangan tetangga dan saudara sesama warga desa, namun akhirnya si ibu meninggal dunia dalam kesedihan yang mendalam. Gus Anom kemudian pergi mengandu nasih ke kota, karena tidak enak jika terlalu bergantung pada saudara-saudara ibu dan ayahnya.
Nang Lecir sebagai pimpinan desa dan Nang Olog sebagai yang dituakan di desa itu sudah sejak lama mengajak warganya untuk tidak mengadakan tajen lagi, mereka mesti belajar dari kasus keluarga Gus Anom. Tajen hanya judi yang menjadi penyakit masyarakat, tidak perlu dilestarikan apalagi diatur dengan peraturan resmi. Selama ini tajen bersembunyi di balik budaya dan adat yang bernama ‘tabuh rah‘ sebuah tradisi korban hewan pada upacara keagamaan.
Sebenarnya siapa yang diuntungkan dari judi, kecuali mereka yang mem-backing-i-nya.
Nang Lecir masih ingat benar kata-kata Nang Olog yang dipanggilnya Bli – kakak di paruman (pertemuan) desa belasan tahun lalu. Dia bertanya dengan nada menantang di paruman desa – mengetahu bahwa di sana ada banyak babotoh (penjudi sabung ayam) yang turut serta. Dia bertanya, siapa yang bertanggung jawab atas hancurnya salah satu keluarga di desa itu karena judi yang disebut tajen tersebut, siapa yang akan mengelak dari tanggung jawab bahwa semua orang telah membiarkan tajen berlangsung baik dengan ikut bergembira menikmati dan menyelanggarakannya, atau turut diam tak acuh dengan berlangsungnya tajen, bahkan dia pun turut menyalahkan dirinya karena tidak bisa membuat orang-orang mendengarkannya – tapi saat itu dia mesti bicara, jika tidak desa akan semakin masuk ke dalam kegelapan judi ini.
Nang Lecir ingat bagaimana bulu kuduknya berdiri ketika mendengar Nang Olog berucap berapi-api di jaba pura puseh di hadapan pamedek anggota pesamuhan. Ia hanya pernah melihatnya orang yang sudah dianggap kakaknya sendiri itu berbicara dengan kharisma seperti itu ketika mengikuti perang di era kemerdekaan dulu, dan tidak disangka ia akan mendengar kakaknya berbicara seperti itu lagi seakan-akan ada musuh yang amat nyata di hadapan mereka, ada bahaya yang sangat nyata di hadapan mereka, dan mereka – warga desa – mesti disadarkan dengan segera. Kata-kata yang merupakan luapan emosi itu bukanlah amarah, namun lebih seperti lautan kesedihan yang tak terbendung lagi. Ia sedih tanahnya yang dulu ia pertahankan dengan merelakan segalanya mesti rusak oleh tabiat mereka yang terlarut pada kenikmatan tajen. Yang ia perjuangkan dulu adalah tanah di mana generasi setelahnya, di mana anak cucunya nanti bisa hidup baik, layak dan bahagia – bukan sebaliknya, rumah tangga yang hancur, saudara yang meninggal, dan anak yang pergi dengan penuh kehancuran dalam hatinya tanpa sanggup ia lakukan sesuatu.
Dalam pemahaman Nang Lecir, tidak ada budaya yang cukup baik untuk dipertahankan jika itu menghancurkan masyarakatnya sendiri – jika itu ada, maka itu bukanlah budaya – budi (kebaikan) & daya (segenap yang bisa dicurahkan) yang sesungguhnya, karena ia sama sekali tidak mencurahkan kebaikan – tidak juga menuntun pada kebaikan. Manusia selalu berdalih untuk sebentuk kenikmatan dan keuntungan, meskipun harus berkonspirasi dalam lumpur kehinaan yang tak kentara. Jika manusia tidak memikirkan apa yang diakibatkan dari pemikirannya, dari ide-idenya akan kebaikan sesama – lalu mananya yang manacika (berpikir baik dan jernih) dalam ranah Tri Kaya Parisudha yang dikatakan sebagai landasan praktis kebudayaan yang ada di tanahnya sendiri.
Nang Lecir memandang wajah kakaknya yang penuh kerut dan rambutnya yang telah memutih, ia tahu pasti kakaknya ingin menyampaikan sesuatu, namun ia sudah begitu tua. Siapa yang akan mendengarkan suara serak seorang petani tua yang miskin, yang bahkan tidak sudah tidak sanggup lagi untuk mengusir burung-burung yang mencoba mencuri padi di persawahan. Pun demikian, kepada siapa dia mesti berbicara, mestinya generasi pemimpin saat ini memahami dengan baik permasalahan seperti ini, tantangan klasik yang selalu ada dalam masyarakat. Jika yang semestinya memimpin justru melempar kail untuk menarik kembali masalah agar bermunculan ke permukaan kehidupan bermasyarakat, maka habislah sudah regenerasi yang diharapkan oleh orang-orang seperti Nang Lecir dan Nang Olog, dan celakalah generasi yang akan datang di siklus berikutnya untuk memimpin dan hidup terpimpin.
Suara-suara para tua seperti Nang Olog dan Nang Lecir akankah terdengar oleh mereka yang selayaknya membawakan suara rakyat? Warna Ksatria mestinya menjaga apa yang patut untuk dijaga, dan rakyat yang menyokong kehidupan bersama dapat hidup sesuai apa yang patut secara baik, adil, dan jujur.
Copyright secured by Digiprove © 2010 Cahya Legawa